Gedung pertemuan di kampus York Universitas menjelang tengah malam masih dipenuhi penonton yang menyaksikan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Matthew Isaac Cohen, dalang kelahiran Amerika bergelar professor.
Tidak kurang dari 500 penonton memenuhi gedung Roger Kirk, Universitas York, di kota York, Inggris termasuk Dubes RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republic Irlandia dan Lastry Hamzah Thayeb serta Atase pendidikan KBRI London, Fauzi Soelaiman dan istri untuk menyaksikan pementasan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Lokananta, The Gamelan of the God.
Selama seminggu Universitas York, mengelar hajatan Gamelan Gathering, perayaan 30 tahun keberadaan gamelan Sekar Petak di Universitas York yang dihadiri sekitar 30 kelompok gamelan yang berada di Kerajaan Inggris dengan puncak acara pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan dalang bule Ki Matthew Cohen yang telah menetap di Inggris sejak tahun 2000 lalu berhasil mempesona pengemar wayang di adakan di Universitas York, Inggris, yang sebagian besar masyarakat Inggris.
"Tidak ada persiapan khusus, seperti layaknya para dalang yang mengelar pagelaran wayang semalam suntuk," ujar Ki Dalang Matthew kepada ANTARA London, menjelang pementasan.
Kalau biasanya sebelum pementasan umumnya dalang melakukan persiapan seperti mutih atau puasa, tapi tidak bagi dalang Matthew.
Kecintaannya terhadap gamelan dan wayang semakin bertambah. Selain belajar, selama kuliah dia juga mulai belajar mendalang. Akhirnya dia memutuskan mengambil program Doktor Antropologi Budaya Yale University dengan daerah penelitian di Cirebon, Jawa Barat.
Ki Matthew Cohen mengaku belajar banyak dari para seniman-seniman setempat untuk menggali pengetahuannya dalam seni wayang. Tak heran, Ki Matthew Cohen bukan cuma mengerti pakem wayang tapi juga paham filosofi wayang.
Mengenai kisahnya menjadi dalang, Matthew, yang beristrikan wanita Indonesia, Aviva Kartiningsih, seorang penari bercerita bahwa ia belajar mendalang sejak tahun 1988.
"Saya mulai belajar pedalangan dengan sungguh pada tahun 1988 di ISI Solo jurusan pedalangan sebagai Fulbright Scholar," ujar dosen di Universitas Royal Holloway, London.
Menurut ayah satu putri, sebelumnya ia ikut main di salah satu rombongan gamelan di Boston (AS) dan juga pernah membantu dalang Amerika, Marc Hoffman selagi belajar Bahasa Indonesia di Hawaii.
Ia melanjutkan pendidikannya praktis di Cirebon antara tahun 1993 dan 2000 saat melakukan penelitian doktor dan postdoctoral pada wayang kulit di bagian Jawa Barat. Sebelum ke Indonesia tahun 1988, Matthew tidak punya bayangan bisa menjadi dalang sungguhan.
Dulu ia hanya ingin sekadar tahu tentang kesenian ini supaya bisa menjadi dasar untuk teater yang diciptakannya sebagai penulis dan komponis serta sutradara.
Namun atas dorongan dari dosennya di ISI Solo, terutama Ki Dalang Joko Susilo dan juga dengan belajar dengan Ki Oemartopo almarhum dari Wonogiri, Matthew pun terjun ke praktik pedalangan. "Malah semenjak saya main wayang jarang-jarang saya kembali ke bidang teater murni," ujar Matthew.
Matthew mengakui bahwa ia sudah mendalang di berbagai negara termasuk Indonesia seperti di Malaysia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Yunani, Israel. Sampai saat ini, Matthew sudah membawakan lebih dari 25 lakon . "Saya sudah membawakan lakon di atas 25 jumlahnya, ada yang lama adapun yang baru," ujarnya.
Matthew mengakui bahwa ia sering mendalang keluar dari pakem karena memadukan dengan seni musik kontemporer dan juga paduan dengan alat musik serta tarian.
Seperti yang dilakukannya dalam acara pagelaran wayang semalam suntuk dengan lakon Lokananta, Matthew meramu pagelaran wayang menjadi lebih meriah dengan masuknya berbagai seni musik seperti bagpipe dari Skotlandia , trompet, clarinet dan musik elektronik serta diiringi dengan nyanyian jenis opera dan sinden Esther.
Menurut Matthew, perpaduan semacam ini sudah sering terjadi di dunia pewayangan selama 20 tahun di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, Matthew mengakui dalam pertunjukan Lokapala memang ia punya maksud untuk menampilkan berbagai macam lagu gamelan yang diciptakan di Inggris Raya, baik lagu yang lama maupun yang baru dari Indonesia.
Pengalaman Mendalang
Bercerita mengenai pengalamannya selama mendalang, Matthew mengakui bahwa pengalaman menarik memang banyak sekali.
Namun dengan rendah diri ia mengatakan bahwa ia masih belajar wayang, saya pernah diajak main di acara pertunjukan semalam suntuk di Sriwedari, Solo berdampingan dengan spiker yang menjual berbagai macam barang (seperti sabun cuci) sehingga tidak bisa dengar suara sendiri apalagi gamelan yang mengiringinya.
Tapi malah pertunjukannya sukses besar karena tidak ada rasa ragu, tidak "nervous" sama sekali, ujarnya mengenang.
Menurut Matthews, meskipun sering main di luar negeri, namun ia juga sering tampil mendalang di tanah air, dan bahkan di hadapan pembesar negeri Indonesia termasuk beberapa kali diundang oleh menteri. "Sebenarnya saya paling senang main wayang untuk masyarakat Cirebon di plosok desa," ujarnya.
Hal ini diakuinya karena penghargaan rakyat Cirebon untuk wayang kulit masih tinggi sekali, dan mereka sangat tajam dalam apresiasi. Ditambah lagi senggakan dari musisi yang bikin suasana panggung sangat meriah.
Matthews mengatakan bahwa dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun belakangan ini ia banyak mendapatkan untung dari kolaborasi dengan dalang Indonesia seperti Ki Joko Susilo (dengan karya Wayang Cuchulain), Catur Kuncoro (Berlian Ajaib) dan lain sebagainya.
"Saya juga sempat mempelajari dari dekat gaya wayang yang baru dari Ki Enthus Susmono, Ki Slamet Gundono, Ki Jlitheng Suparman dan lainnya dan bergaul dengan dalang ternama yang membawa angin segar ke dunia pewayangan," kisahnya.
Berbicara mengenai dunia pewayang di Indonesia, Matthews mengatakan bahwa ada kaitan erat dengan kemajuan seni teater boneka di dunia.
Dalam mendalang, Matthew yang menerima gelar PhD di bidang antropologi dari Universitas Yale, sangat mahir melagukan tembang dan bahwa cengkokannya begitu kental.
"Saya dulu belajar sulukan dari guru besar ISI Solo Ki Blacius Subono dan cengkok beliau masih nempel di suara saya," ujar Matthew menambahkan bahwa ternyata ia mempunyai bakat untuk ini.
Memang ini satu-satu mata kuliah yang saya ambil di ISI Solo pada tahun 1988-1989 yang saya rasa tidak kalah jauh ketimbang teman-teman dari Jawa. Cuman kalau mata kuliah yang lain saya angkat tangan, bukan lawanan, ujar Matthew.
Dikatakannya selain belajar sulukan dari Solo , ia juga lama di Cirebon sehingga gaya vocalnya terutama untuk dialog karakter lebih ke arah Cirebon daripada Jawa Tengah.
Pada tahun 2009, Matthew mendapat gelar kerajaan Ki Ngabehi dari Sultan Kraton Kacirebonan, salah satu istana Cirebon, bersama dengan nama panggungnya Kanda Buwana yang berarti "Dia Yang Bercerita Tentang Dunia" dalam bahasa Jawa.
Kini kesibukan Ki Matthew Cohen adalah sebagai staf pengajar senior di Departemen Drama dan Teater, Royal Holloway University of London, Inggris. Selain mengajar, menulis buku, Ki Matthew Cohen masih kerap bolak-balik ke Indonesia untuk mendalang.
Mengenai digelarnya gathering gamelan dari berbagai kota di Inggris , Matthew mengakui bahwa sangat menarik karena membuktikan beraneka warna "approach", ke gamelan yang ada di UK.
"Gamelan digunakan untuk mengajar pengetahuan tentang musik pada umumnya. Ada yang pakai untuk alat komposisi. Ada juga yang yang menggunakan untuk forum kumpul riung hal ini terlihat dalam acara Gamelan Gathering di York dimana berkumpul para pemain gamelan yang datang dari seluruh Inggris," tambahnya.