Penengah Lady Gaga dan ORMAS

13.49
0
Di sini saya tidak akan dan tidak perlu lagi mengurai apa dan siapa sosok Lady Gaga, penyanyi asal Amerika Serikat, yang akan bertandang ke Indonesia menggelar konser di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 3 Juni nanti. Saya juga tidak berspekulasi soal pencekalan, maupun mengenai ribut saling silang pendapat pro kontra larangan pemberian tidaknya izin pertunjukan konser Lady Gaga bertajuk 'The Born This Way Ball'.

Justru yang lebih menarik perhatian adalah munculnya beragam pernyatan sikap dari kalangan tokoh masyarakat yang mewakili atas nama institusi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun oraganisasi kemasyarakatan atau kelompok agama, seperti Front Pembela Islam (FPI) atau Forum Umat Islam (FUI). Yang antara lain mengatakan bahwa konser Lagy Gaga dapat merusak moral bangsa. Pernyataan ksi panggung mengumbar aurat dan goyangannya bisa merangsang lawan jenis, penebar aliran sesat, haram ditonton. Bahkan sampai ada usulan dikeluarkannya fatwa haram buat penyanyi berjuluk “Mother Monster”, dan sebagainya. 

Dalam tulisan ini saya mencoba melihat fenomena kasus pro kontra Lady Gaga ini dari perspektif lain yaitu dari sudut pandang dalam konteks budaya musik yang sebenarnya juga terjadi berkembang di Indonesia, yaitu dengan mengacu pada sebuah pribahasa; virus di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.

Diibaratkan, kalau kedatangan Lady Gaga adalah virus dari seberang lautan, dianggap sesat dan bisa merusak moral, goyangannya sarat mengumbar hasrat seksual, makanya konsernya haram ditonton. Untuk mengantisipasi dampak buruk virus dari seberang lautan ini harus dicekal, dilarang, dan tidak diberi izin pertunjukkan. Itupun belum cukup, sampai ada desakan mendesak agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Haram nonton konser Lady Gaga. Bukan cuma untuk urusan makanan, ternyata sertifikasi halal dan haram sudah mulai merambah mengintervensi seni musik.

Lalu bagaimana berkenaan dengan gajah-gajah yang berkeliaran di pelupuk mata kok tidak tampak. Padahal gajah-gajah yang ada di pelupuk mata itu atraksi goyangannya tak kalah vulgar erotismenya. Apa kita memang lebih suka melakukan penglihatan dan pengamatan pakai teropong jarak jauh saja, dan tidak pernah melihat secara kasat mata apa yang ada di depan mata kita sendiri. Padahal goyangan gajah-gajah tersebut juga mengandung penebaran virus merusak moral.

Jadi, kalau sosok Lady ‘Mother Monster’ Gaga ini dianggap virus perusak moral bangsa karena sensasi erotisme aksi panggungnya yang bisa mengundang rangsangan syahwat birahi antar lawan jenis. Lalu bagaimana dengan gajah-gajah artis penyanyi lokal yang tampilan aksi panggung juga mengumbar sensasi goyangannya mengundang rangsangan hasrat birahi seksual?

Kalau alasan itu yang ditudingkan ke Lady Gaga. Lalu bagaimana dengan keberadaan artis penyanyi lokal yang tampilan aksi panggung tak kalah vulgar dan seronoknya? Sebagai satu contoh bandingan saja, lalu apa bedanya kalau kita melihat tampilan aksi panggung penyanyi dangdut koplo Trio Macan.

Tampilan aksi panggungnya sami mawon (sama saja), mengumbar sensasi-sensasi goyangan seronok erotisme dengan pola gerakan yang mengundang hasrat birahi seksual.

Bahkan di Jawa Barat dan Madiun, trio penyanyi yang lagi ngetop lewat lagu “Iwak Peyek” ini pernah dicekal oleh Majelis Utama Indonesia (MUI) setempat, karena goyangannya di atas panggung yang dinilai seronok berbau pornografi. Setidaknya dari kasus pencekalan di daerah-daerah tertentu terhadap Trio Macam atau penyanyi dangdut lainnya seperti Dewi Persik dan Julia Perez, menjadi semacam indikasi bandingan ribut pro kontra Lady Gaga, sebagaimana pribahasa “Virus di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.”

Kalaupun Lady Gaga dituding dan dianggap penebar virus perusak moral anak bangsa. Mari kita simak, untuk nonton konser Lady Gaga harga tiket mulai dari Rp 465.000 sampai Rp 2.250.000. Pasti yang mampu nonton adalah mereka yang berduit. 
Sementara Trio Macan atau penyanyi dangdut lainnya yang pola goyangan yang tak beda Trio Macam, tak jarang manggung di ruang publik terbuka baik open air maupun in door, yang ditonton segala umur dari anak-anak kecil, ABG, dewasa sampai kakek-nenek. Mereka ikut bergoyang ria dibuai oleh pameran goyangan yang menjurus ke sensasi-sensasi pornografi. Dan, jangan lupa pula, buat Komisi Penyiaran Televisi (KPI), layar televisi juga mentayangkan tanpa sensor. 

Sebagai institusi pemerintah atau organisasi massa yang mengaku punya komitmen sebagai penjaga moral bangsa seharusnya juga bersikap kritis, objektif dan tidak tebang pilih dalam menyikapi hal ini, meski fenomenanya beda, tak sama tapi serupa.

Kalau Lady Gaga harus dilarang, dicekal, dan difatwakan haram, karena alasan normatifnya mengumbar aurat dan gerakan yang merangsang lawan jenis, sebagaimana tuding Khalil Ridwan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Larang atau cekal pula artis penyanyi (dangdut) lokal tampilan aksi panggungnya dengan alasan normatif maupun moralitas mengumbar aurat dan gerakan yang merangsang lawan jenis. Kalau perlu keluarkan pula Fatwa Haram bagi deretan nama-nama penyanyi dangdut lokal yang sudah mendapat stigmatisasi atas tampilan goyangan aksi panggungnya yang mengumbar sensasi-sensasi yang mengandung dan mengundang rangsangan hasrat birahi seksual .

Juga kalau perlu perlakukan sama yaitu pencekalan terhadap lagu-lagu berlirik amoral. Karena kalau kita simak saat ini banyak lagu-lagu baik pop maupun dangdut yang pesan lirik lagunya masuk kategori amoral, seperti mengangkat tema birahi atau perselingkuhan. Karena jelas lagu macam ini tidak edukatif, asusila, amoral, dan bertentangan dengan norma agama, serta berdampak buruk terhadap prilaku sosial.

Di luar urusan soal ribut pro kontra soal pemberian tidaknya izin pertunjukkan. Kalau akhirnya ada himbuan, statement atau pernyataan sikap dari para tokoh masyarakat mewakili institusi keagamaan maupun dari organisasi kemasyarakatan atau kelompok agama bahwa (konser) Lady Gaga adalah haram, lalu bagaimana dengan artis penyanyi lokal yang juga punya kemiripan goyangan tak sama tapi serupa yaitu sama-sama mengumbar aurat dan gerakan yang merangsang lawan jenis?

Sudah tentu, sebagai institusi maupun ormas yang mengaku penjaga moral bangsa perlu menunjukkan komitmen pernyataan sikap tersebut secara konsistensi, tidak terjebak pada posisi tawar-menawar dan tebang pilih. Jangan sampai hanya mata pandangnya cuma fokus “virus di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk (kasat) mata tidak tampak.” Semoga! 

Alex Palit, pemerhati budaya musik, pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi)

Pendidikan

More »

Mahasiswa

More »

Kesehatan

More »

Sponsor