Akibat tergerus waktu, kini Taman Proklamasi tak ubahnya seperti lapangan untuk bermain sepak bola untuk anak-anak. Taman yang ada di Jakarta Pusat merupakan saksi sejarah yang telah terlupakan. Yuk, kembali menengok monumen yang bersejarah ini!
Sekian lama mengagumi sosok Bung Karno, sang Bapak proklamator negara ini. Napak tilas ke Makam Bung Karno, penyambung lidah rakyat di Blitar pun sudah pernah saya lakukan saat touring Jawa-Bali bersama keluarga. Tiba-tiba perasaan nasionalisme menimbulkan satu keinginan untuk menjajaki lokasi pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945. Sudah seperempat abad saya tinggal di Jakarta dan menjadi warga negara Indonesia, namun belum sekalipun saya datang ke tempat yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia ini.
Menurut sejarah, kemerdekaan negara Indonesia berawal dari proses perumusan teks proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, kini di Jln. Imam Bonjol, No.1. Proses penyusunan naskah proklamasi dilakukan pada tanggal 16 Agustus hingga subuh hari tanggal 17 Agustus.
Selanjutnya, Soekarno, Hatta serta Ahmad Soebardjo merumuskan teks proklamasi yang kelak diketik oleh Sayuti Melik ini. Tak ketinggalan Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, ketika itu mendapat tugas menjahit Sang Saka Merah Putih yang hingga kini tersimpan di Museum Monumen Nasional.
Awalnya, para pejuang bangsa menjadwalkan lokasi pendeklarasian proklamasi hari itu (17/8/1945) di Lapangan Ikada, singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta yang kini berubah nama menjadi Lapangan Merdeka. Namun, dengan alasan keamanan prosesi bersejarah tersebut diselenggaraan di rumah kediaman Soekarno yang saat itu berada di Jln. Pengangsaan Timur, No. 56, dan sekarang berubah menjadi Jln. Proklamasi, No 1.
Akhirnya, di lokasi inilah Soekarno membacaan teks proklamasi pada pukul 10.00 WIB. Di tengah situasi yang mencekam dan penuh ancaman dari pihak Jepang, acara berlangsung dengan sangat sederhana. Bahkan dari pengakuan Bung Karno di buku autobiografinya karya Cindy Adams yang berjudul "Penyambung Lidah Rakyat", pena yang dipergunakan untuk penandatanganan teks tersebut pun hanyalah pena biasa yang kemudian hilang karena tidak disimpan secara khusus.
Taman Proklamasi terletak tidak jauh dari pertigaan kompleks bioskop Megaria, dahulu Metropole dan juga Universitas Bung Karno yang berada setelah Stasiun Cikini. Rumah bersejarah yang tampak di foto-foto proklamasi, dahulu disebut Gedung Proklamasi itu justru sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960. Memasuki Taman Proklamasi, pengunjung akan disambut dengan suasana hijau pepohonan yang tampak begitu asri.
Sedianya, kompleks bersejarah tersebut akan direnovasi ketika Bung Karno pindah ke Istana Negara. Bung Karno sendiri yang melakukan pencangkulan pertama untuk pembangunan tugu yang dinamakan Tugu Petir ini, monumen yang kemudian disebut Tugu Proklamasi.
Tugu Petir, sekilas terlihat seperti lambang PLN, dengan bulatan tinggi dan berlambang petir di atasnya. Pada Tugu tersebut tertulis, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Pada Tanggal 17 Agustus 1945 Djam 10.00 Pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".
Tak jauh dari Tugu Petir berdiri satu gedung yang menandakan Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Selain itu terdapat satu tugu lainnya, yaitu Tugu Peringatan Satoe Tahoen Republik Indonesia, yang berdiri pada 17 Agustus 1946. Tugu kecil yang memiliki tinggi sekitar 3 meter ini didirikan oleh Yos Masdani, anggota Ikatan Wanita Djakarta tanpa adanya bantuan dana dari siapapun. Untuk menghargai peran dari para pejuang wanita karena itu di atas bahan marmer tersebut terdapat tulisan "Atas Oesaha Wanita Djakarta".
Setelah 27 tahun kemerdekaan,Tugu Proklamasi pun diresmikan pada tahun 1972 setelah pembangunan kembali area Proklamasi oleh Gubernur Ali Sadikin. Delapan tahun kemudian, Presiden Soeharto turut meresmikan Monumen Soekarno-Hatta yang tampak megah dengan 17 jumlah pilar-pilar di belakang patung besar kedua tokoh sebagai lambang tanggal proklamasi.
Setelah tergerus oleh waktu, saat ini area Taman Proklamasi tersebut tak ubahnya lapangan bermain sepakbola oleh para pemuda yang kekurangan area terbuka. Bahkan saya tidak dapat memotret tulisan di bawah Tugu Petir karena lantai di sekitar tugu ramai dipergunakan untuk berjualan oleh warga.
Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawan bangsanya? Karena dengan mengetahui sejarah kita dapat semakin menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap diri sendiri. Dan, otomatis kita lah yang akan menjadi pelaku sejarah untuk masa depan bangsa ini yang lebih baik.
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak anda di kota ini.
Ini bisa membantu kami dalam mengenali anda.
Terima kasih.
Salam Blogger!