Asma Azizah (Mahasiswi Bahasa Korea) Universitas Gadjah Mada (UGM) |
Miris rasanya ketika mendengar berita kunci jawaban yang bebas melanglang buana saat Ujian Nasional (UN) SMA/SMP beberapa saat lalu. UN yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan suatu proses pendidikan, malah menjadi ajang ‘transaksi’ jual-beli kunci jawaban. Penyakit yang terus ada dari tahun ke tahun ini menjadi indikasi bahwa kualitas pendidikan negeri ini masih jauh dari kata sempurna.
UN bagaikan sebuah mata rantai beban yang diturunkan mulai dari pemerintah hingga ke siswa. Dengan adanya UN, pemerintah bisa mendeteksi keberhasilan sistem pendidikan yang telah dijalankan selama ini. Sayangnya, proses pendeteksian ini tidak dibiarkan berjalan secara natural. Ada kepentingan, yaitu berupa nama baik, yang dipertaruhkan. Jika nilai UN murid jatuh, maka otomatis peringkat sekolah akan menjadi turun. Hal ini juga akan menyebabkan nama pemerintah daerah jatuh, yang tentu saja ujung-ujungnya akan mengenai pemerintah pusat juga.
Proses yang tidak ‘alamiah’ ini menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak bisa diukur. Proses pemberian beban inilah yang pada akhirnya menyebabkan siswa melakukan segala cara untuk mendapatkan hasil bagus di UN, meskipun cara yang dilakukan belum tentu benar.
Melihat kondisi tersebut, ada tahapan yang salah dalam sistem pendidikan kita. Sistem yang terpaku pada kuantitas nilai menyebabkan kualitas dinomorduakan. Tidak adanya proses ‘pemahaman’ kepada siswa bahwa yang terpenting adalah bagaimana menggunakan ilmu, bukan mendapatkan nilai, menyebabkan orientasi pendidikan negara ini bergeser. Karena itu, tak wajar jika selembar ijazah pun menjadi ‘barang jualan’. Karena itu, wajar banyak anggapan bahwa tak datang kuliah tak masalah, yang penting nilai ujian memuaskan.
Sistem yang terpaku pada kualitas nilai ini yang pada akhirnya menyebabkan orientasi pembangunan negara terpaku pada orientasi material. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan sebatas yang bisa dilihat dan diukur oleh manusia saja. Padahal sejatinya tujuan pendidikan adalah membangun manusia. Ketika sumber daya manusia (SDM) sudah ada, maka pembangunan lainnya akan menjadi mudah. Ketika manusia dengan pemikirannya ada, maka secara otomatis material itu akan terbentuk.
Tak salah jika W.R Supratman membuat lirik lagu, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...”Pembangunan jiwa dan karakter lebih penting ketimbang pembangunan fisik semata. Karena percuma gedung-gedung yang tinggi dibangun, tapi orang-orang yang ada di dalamnya tidak memiliki nilai moral dan etika yang baik. Percuma fasilitas canggih yang ada dibuat untuk pada akhirnya menjadi bumerang bagi keberlangsungan suatu bangsa itu sendiri. Pembangunan pemikiran, dari situlah pendidikan kita harus dimulai.
Tanggal 2 Mei ini harus ditandai sebagai tonggak untuk membangun kembali sistem pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan seyogianya bisa didapat dari mana saja, tak mesti dari sekolah. Namun, dari lingkup sekolah inilah proses ‘pembangunan’ yang sistematis bisa dimulai. Jika sistem pendidikannya saja sudah salah, maka jangan salahkan jika pembangunan nasional mengalami kemunduran. Salam.
0 comments:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak anda di kota ini.
Ini bisa membantu kami dalam mengenali anda.
Terima kasih.
Salam Blogger!