Ziarah anak pisang Sang Proklamator ke Ranah Minang

16.21
0

”Jika darah dalam tubuh kami dibagi, 50 persen kami berdarah Minang, 25 persen darah Jawa, dan 25 persen lagi berdarah Aceh. Walau kami hanya dianggap sebagai anak pisang, tapi kami bangga disebut orang Minang,” ujar Gemala Rabi’ah Hatta, 60, putri kedua Proklamator Republik Indonesia Mohammad Hatta.
Waktu  itu, Gemala bersama kakaknya Prof Meutia Farida Hatta Swasono, 65, berziarah ke makam Syekh Abdurrahman, buyut mereka yang dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al-Manar, Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumbar.

Ziarah ke makam Syekh Abdurrahman, ulama terkemuka Minangkabau pada abad ke-19 itu, bukanlah ziarah pertama yang dilakoni Gemala, Meutia ataupun adik mereka Halida Nuriah Hatta, 58. ”Sudah puluhan kali, anak-anak Bung Hatta berziarah ke sini,” ujar Wali Nagari Batuhampar, Asra Arafat.

Asra memang benar. Padang Ekspres mencatat, 1 Maret 2011, Gemala Hatta juga berziarah ke makam Syekh Abdurrahman. Kala itu, Gemala ditemani Wali Kota Payakumbuh Josrizal Zain dan Wali Kota Sawahlunto Amran Nur, meresmikan rumah orangtua Bung Hatta yang direnovasi Presiden Komisaris PT Bakri Brother, Irwan Syarkawie.

Berbeda dengan ziarah tahun lalu, ziarah Gemala Hatta ke makam buyutnya pada tahun ini lebih ramai. Selain ditemani kakaknya Meutia Hatta yang mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden SBY, Gemala juga ditemani anak tunggalnya Muhamad Attar, serta 45 orang kerabat mereka.

”Anak Bung Hatta memang hanya tiga orang, Kak Meutia, saya dan Halidah. Kami cuma keluarga kecil. Tapi, mak tuo (saudara perempuan Bung Hatta) kami punya banyak anak. Mereka tersebar di berbagai penjuru Nusantara. Merekalah yang sekarang kami ajak ke sini,” ujar Gemala, memperkenalkan satu per satu kerabatnya.

Sebelum berziarah ke Batuhampar, Gemala, Meutia dan keluarga besar Bung Hatta yang bangga mengaku sebagai anak pisang orang Minang (anak dari lelaki Minang), sempat bertandang ke Nagari Sarilamak, Kecamatan Harau. Mereka ditemani Bupati Limapuluh Kota Alis Marajo, mantan Bupati Aziz Haily dan Ketua DPRD Darman Sahladi.

Di Sarilamak, Gemala dan Meutia menerima selembar sertifikat tanah dari Aziz Haily, putra Kapur IX yang menjadi dosen IPDN Jatinangor. Di atas tanah itu, rencananya akan dibangun Masjid Raya Bung Hatta. Gemala dan Meutia, siap membantu pembangunannya. Alis Marajo dan Darman Sahladi, senang mendengar hal tersebut.

Malahan, Alis yang ganjen mengurus adat dan sejarah Minangkabau mengusulkan, agar nama Masjid Bung Hatta nantinya diganti dengan Surau Bung Hatta. ”Kalau universitas dan Istana Bung Hatta sudah ada, tapi Surau Bung Hatta belum ada. Padahal, Bung Hatta dibesarkan di surau,” kata lelaki berjuluk ’dokter politik’ itu.

Soal rencana pembangunan masjid itu pula, Gemala Hatta yang pernah menjadi istri Drs Mohammad Chalil Baridjambek Datuak Rajo Pangulu, putra Nagari Barulak, Kecamatan Tanjuangbaru, Kabupaten Tanahdatar, belum mau sesumbar. Gemala justru lebih antusias bicara soal Batuhampar dan ayahnya, Bung Hatta.

”Di Batuhampar, ayah memperoleh ilmu agama dari Syekh Abdurrahman. Sehingga ayah tidak hanya menjadi tokoh Minang dan tokoh nasional, tapi juga dikenal di dunia. Bahkan di Rotterdam, Belanda, ada jalan bernama Mohammad Hatta. Makanya, kami berharap, tumpah darah leluhur ini, dapat kita jaga bersama,” ucap Gemala yang mengenakan baju hitam dipadu kerudung putih.

Gincu dan Garam
Lain Gemala, lain pula Meutia Hatta. Istri ekonom Sri Edi Swasono ini, tidak hanya antusias bicara soal kampung leluhurnya Batuhampar dan Bung Hatta. Tetapi juga semangat saat membahas rencana pembangunan Masjid Raya Bung Hatta di atas tanah pemberian mantan bupati Aziz Haili di kawasan ibu kota Kabupaten Limapuluh Kota.

”Bagi kami, Batuhampar sudah seperti tanah kelahiran. Sulit bagi kami untuk tidak mengatakan orang Minang. Di Batuhampar ini, kami ingat dengan Mak Tuo Rafiah, Mak Tuo Halimah, dan Datuak Oyah (unsur pimpinan Ponpes Al-Manar). Alhamdulillah, Datuak Oyah masih sehat,” ucap profesor berparas mirip Bung Hatta itu.

Soal rencana pembangunan Masjid Bung Hatta, Meutia yang berbicara di hadapan Alis Marajo, Darman Sahladi, Aziz Haily, S Dt Yang Bosa, M Djamil Bari Djambek dan puluhan tokoh, menyambut baik rencana tersebut. ”Kita berusaha masjid itu bisa dibangun dengan baik. Baik untuk ibadah, maupun untuk mengenang nilai-nilai keteladanan Bung Hatta,” ujarnya.

Dalam menjalankan ibadah, kenang Meutia, ayahnya tidak mau seperti perempuan bergincu. ”Tahu gincu kan? Ya, lipstick itu, hanya pemanis, hanya untuk pencitraan. Bung Hatta tak mau begitu. Beliau lebih memilih seperti garam, biar sedikit dalam makanan, tapi terasa,” kata Meutia dengan suara bergetar.

Soal gincu dan garam yang menjadi filosofi Bung Hatta dalam beribadah, kembali disinggung Meutia saat mengkritisi kondisi bangsa. ”Kebanyakan dari kita para pemegang amanah, memang baru bisa seperti gincu, lebih banyak membangun pencitraan. Kalau beribadah, juga belum seperti garam,” tukasnya.

Meutia menyebut, jika para pemimpin bangsa dan politisi di negeri ini, memegang teguh cita-cita founding fathers Republik Indonesia, negeri ini tidak akan karut-marut. ”Soal kondisi bangsa sekarang, saya pikir, kita harus kembali kepada cita-cita para pendiri bangsa dan UUD 1945,” imbuh Meutia.

Setelah berziarah dan mengelilingi kompleks Ponpes Al-Manar Batuhmpar, Meutia yang mengenakan baju biru langit bermotif jingga mengajak adiknya Gemala Hatta dan seluruh kerabatnya foto bersama. ”Ini untuk kenang-kenangan,” kata Meutia yang sempat menyerahkan sumbangan untuk perbaikan rumah Datuak Oya, tokoh Ponpes Al-Manar.

0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak anda di kota ini.
Ini bisa membantu kami dalam mengenali anda.
Terima kasih.
Salam Blogger!

Pendidikan

More »

Mahasiswa

More »

Kesehatan

More »

Sponsor